Belajar Dari Nelson Mandela

nelson-mandela

Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, adalah seorang tokoh pejuang kebenaran dan keadilan bagi rakyat Afrika Selatan.  Ia menentang pemerintah Apartheid di Afrika Selatan, akibatnya ia dihukum dalam penjara selama 27 tahun.  Apartheid adalah sistem pemerintahan yang menetapkan perbedaan berdasarkan warna kulit, putih atau hitam, Kaukasian atau non-Kaukasian.

Nelson Mandela adalah seorang penganut Kristen Methodist.  Namun, pemerintah apartheid yang dikuasai oleh orang-orang berkulit putih yang sama-sama beragama Kristen, bersikap membeda-bedakan berdasarkan warna kulit. Orang kulit hitam menjadi warga kelas dua, dengan demikian penduduk asli Afrika Selatan menjadi tamu di negerinya sendiri. 

Ironisnya, gereja disana pun pada waktu itu menjadi gereja apartheid.  Gereja-gereja ikut-ikutan masuk ke dalam sikap politik pemerintahan.  Dalam gereja terjadi diskrimasi berdasarkan suku dan warna kulit.  Padahal mayoritas rakyat Afrika Selatan adalah penganut Kristen.  Gereja tidak lagi mengamalkan kasih Kristus, sikap membeda-bedakan ini membuat gereja  jatuh ke dalam dosa.

Apa yang terjadi dalam masa-masa kelam di Afrika Selatan, masih pula terjadi di jaman kemerdekaan sekarang ini, dimana-mana termasuk di Indonesia.  Gereja-gereja yang seharusnya merangkul semua orang, sebagian menjadi begitu eksklusif.  Eksklusivitas gereja menyebabkannya tidak dapat membaur dan bergaul di tengah-tengah masyarakat.  Penolakan masyarakat terhadap kehadiran gereja bukan semata-mata karena perbedaan keyakinan tetapi juga karena eksklusifisme gereja.

Di beberapa gereja, terjadi pembedaan suku, ras dan warna kulit secara diam-diam atau terang-terangan.  Demikian halnya, dalam hal kemampuan ekonomi jemaat, terjadi pembedaan antara yang kaya dan yang miskin.  Yang kaya akan diberikan porsi dan kedudukan dalam pelayanan yang lebih besar, sedangkan yang miskin tidak diberikan porsi pelayanan yang sesuai meskipun ia memiliki karunia pelayanan yang baik.

Renungan ini hendak mengingatkan kita kembali, bahwa sebagaimana Tuhan tidak membeda-bedakan manusia, demikian juga harusnya kita tidak membeda-bedakan sesama kita.  Apalagi pemimpin rohani, gembala sidang, majelis maupun jemaat jangan sampai sikap membeda-bedakan orang menjadi kebiasaan dalam kehidupan berjemaat dan bersosial.

Tidak ada lagi soal kaya atau miskin, etnis ini atau itu, suku ini atau itu, hitam atau putih, jemaat atau bukan jemaat,  gereja harus mengedepankan kasih Kristus kepada semua orang.

Nelson Mandela tidak menggembar-gemborkan kekristenannya, namun praktek kesehariannya mencerminkan Kristus dalam kehidupannya.  Ia berjuang melawan kemiskinan dan ketidakadilan, ia membela hak-hak orang yang tertindas, Nelson memberikan harapan dan tindakan nyata bagi rakyatnya.

Jika saja semua orang kaya mau berbagi dengan sesamanya maka tidak akan ada orang yang miskin di dunia ini.  Tuhan sudah memberikan firman agar kita memperhatikan yang miskin dan menderita, dan berbagi dengan mereka, “supaya tidak ada orang yang miskin di antaramu,” firman Tuhan.  Nelson memiliki hati yang kaya dengan cinta kasih, itulah yang menyebabkannya dicintai rakyatnya, bahkan kematiannya ditangisi oleh dunia, para pemimpin dunia datang dan memberi penghormatan terakhir. Tiga wasiat Mandela yang terakhir berhubungan dengan kesederhanaan hidup, ia ingin dimakamkan secara sederhana.  Selama hidup ia tidak mau bermewah-mewah.  Sederhana itu begitu indah.

Marilah kita menjadi pribadi-pribadi yang tidak membeda-bedakan sesama, mengasihi semua orang, dan berbagi kepada mereka yang membutuhkan.  Tuhan Yesus memberkati! 

“Saudara-saudaraku! Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan Yang Mahamulia, janganlah kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir.”
(Yakobus 2:1) – Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) 

Merawat Tanpa Membeda-bedakan

Di sebuah rumah sakit, seorang bapak tua yang menjadi pasien sedang dirawat di kamar kelas 3.
Dari beberapa orang perawat yang merawat bapak ini, ada satu perawat yang membuatnya kagum karena pelayanannya yang sangat baik kepada semua pasien yang ada di ruangan itu. Dengan senyum yang ramah dan kata-kata yang halus dan sopan, ia memberikan perawatan yang dibutuhkan.
Bapak tua ini bertanya apakah ia melakukan perawatan dan pelayanan yang sama baiknya untuk pasien kelas VIP, kelas 1, 2 dan 3. Sang perawat berkata: “Bapak, sudah menjadi tugas saya untuk melayani dan merawat pasien dengan sebaik-baiknya tanpa membeda-bedakan. Saya diberikan gaji untuk melayani semua pasien, baik kelas VIP maupun kelas di bawahnya. Semua pasien berhak mendapatkan pelayanan dan perawatan yang terbaik, entah dia kaya atau miskin. Melayani pasien merupakan pelayanan saya kepada Tuhan, maka dari itu saya selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik.”
Sikap perawat ini berbeda dengan kebanyakan perawat lainnya. Bila menghadapi pasien VIP maka biasanya perawat akan bersikap lebih baik, padahal gajinya tetap sama saja tidak mengalami kenaikan karena melayani pasien VIP. Berbeda bila melayani pasien kelas lebih rendah, perawat akan bersikap seadanya bahkan terkadang merendahkan dan melecehkan pasien, padahal gajinya yang diterimanya tetap sama, tidak berkurang.
Bagaimana dengan kita? Apakah dalam posisi kita sebagai seorang pelayan Tuhan, pegawai atau profesi apapun, kita bersikap membeda-bedakan atau tidak?
Tuhan Yesus mengajar kita untuk tidak membeda-bedakan orang.
Firman Tuhan dalam Yakobus 2:1 demikian: “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.”
Dan Yakobus 2:8-9  berkata:
Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik.
Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.
Mari melayani dan mengasihi sesama tanpa memandang muka. Amin.