Mengeluh, disadari atau tidak, terkadang atau seringkali, keluar dari mulut kita di saat situasi tidak enak atau tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Mengeluh nampaknya seperti perbuatan yang wajar, namun ternyata mengeluh tidak dikehendaki oleh Tuhan. Pengeluhan merupakan lawan dari pengucapan syukur. Orang yang mengeluh akan menjangkiti orang lain di sekitarnya, yang mendengar keluhan-keluhannya, selain itu mengeluh akan membuat dirinya dalam keadaan bimbang dan meragukan kuasa Tuhan.
Alkitab menyebutkan soal mengeluh dan menggerutu. Mengeluh soal nasib, mengeluh tentang berbagai hal, serta menggerutu, merupakan tindakan yang tidak perlu kita lakukan, sebab bila kita hidup dengan sungguh-sungguh di dalam Tuhan, maka Tuhan berjanji untuk turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya.
Adakah hidupmu saat ini sedang terasa begitu sulit atau menderita, mungkin membosankan, atau tidak sesuai harapan? Jagalah mulut kita agar tidak mengeluh soal nasib, janganlah menggerutu. Percayalah bahwa di dalam segala sesuatu, Tuhan punya rencana yang indah bagi kita. Bersyukurlah sebab Tuhan itu baik!
Ayat bacaan: Yudas ayat 14b-16
“Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya,
hendak menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik karena semua perbuatan fasik, yang mereka lakukan dan karena semua kata-kata nista, yang diucapkan orang-orang berdosa yang fasik itu terhadap Tuhan.”
Mereka itu orang-orang yang menggerutu dan mengeluh tentang nasibnya, hidup menuruti hawa nafsunya, tetapi mulut mereka mengeluarkan perkataan-perkataan yang bukan-bukan dan mereka menjilat orang untuk mendapat keuntungan.
Karunia Untuk Menikmati
Ada sebuah cerita tentang seorang ibu di Eropa yang akan bepergian menuju luar kota dengan menaiki kereta api. Perjalanan menuju kota tersebut akan melintasi daerah-daerah yang pemandangannya indah, ada pegunungan, bukit, danau, hamparan padang rumput dan bunga-bunga yang berwarna warni serta berbagai keindahan alam lainnya yang sayang untuk dilewatkan.
Tapi, sejak naik kereta dan sepanjang perjalanan, ibu ini begitu sibuk dengan barang-barang bawaannya. Tas-tas yang dibawanya, dibuka kembali untuk melihat apakah isi tasnya tidak ada yang ketinggalan. Lalu, ia mengeluarkan isi tas yang satu dan dimasukkan ke tas yang lainnya, ia mengatur ulang posisi isi tas yang dia bawa agar lebih rapi. Selain itu, ia juga mengambil kertas dan pulpen serta mulai menulis hal-hal apa saja yang hendak ia kerjakan, apa saja yang akan ia beli, barang-barang apa yang harus ada, dan kegiatan apa saja yang harus ia lakukan di kota tujuannya. Raut wajahnya menunjukkan ada banyak hal dalam pikirannya yang sedang berkecamuk.
Kemudian, ibu ini mendengar ada bunyi dari handphonenya, dan ia mengambil serta mulai asik dengan aplikasi chating yang ada di handphonenya itu, ngobrol dengan beberapa teman-temannya, dan membicarakan berbagai hal yang nampaknya begitu serius. Tangannya asyik menari-nari di atas tombol-tombol yang tak kelihatan alias “touchscreen” itu.
Sebagian besar penumpang lainnya menikmati perjalanan dengan memandangi keindahan alam daerah-daerah yang dilintasi kereta, sementara ibu ini sibuk dengan berbagai hal hingga lupa untuk menikmati keindahan pemandangan alam dari jendela kereta api.
Tanpa terasa perjalanan sudah selesai, kereta tiba di kota tujuan, dan saat itulah ibu ini tersadar, “sudah sampai?”, katanya. “Padahal saya belum melihat-lihat pemandangan di perjalanan tadi.” “Kok cepat sekali ya?” Dan ia pun menyesali sikapnya sepanjang perjalanan yang sibuk dengan berbagai urusan dan kerepotan.
Saudara yang dikasihi Tuhan, kisah ibu ini adalah gambaran sikap kita pada umumnya dalam perjalanan kehidupan. Banyak orang yang terlalu sibuk dengan berbagai hal, tidak ada keseimbangan antara satu hal dengan hal lainnya dalam hidupnya, sehingga lupa untuk menikmati indahnya kehidupan yang Tuhan anugerahkan.
Seorang petinggi perusahaan otomotif di Indonesia, yang telah bekerja puluhan tahun untuk perusahaannya, berkata bahwa setelah ia berhenti dari pekerjaannya, ia baru menyadari bahwa ia telah melewatkan banyak hal dalam hidup rumah tangganya, dan dalam berbagai bidang lainnya. Ia terlalu sibuk dan fokus dengan karirnya sehingga ia lupa melihat perkembangan anak-anaknya dari kecil hingga bertumbuh besar. Masa-masa pertumbuhan anaknya ia lewatkan, dan ketika ia sadar, anak-anaknya sudah besar.
Banyak pula orang yang terlalu sibuk memikirkan masalah kehidupannya, kesusahannya, dan berbagai macam hal lainnya sehingga lupa bahwa begitu banyak hal yang dapat ia nikmati dalam kehidupan yang Tuhan anugerahkan.
Kitab Pengkotbah 6:2 berbicara, “orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit.”
Nats dalam kitab Pengkhotbah pasal 6 memberikan suatu kesadaran bahwa ada suatu tingkatan dalam hidup yang lebih tinggi daripada memiliki, yaitu menikmati. Berbahagialah saudara bila diberi karunia memiliki sekaligus menikmati. Akan tetapi, bila hanya diberi karunia menikmati maka nikmatilah berbagai hal yang Tuhan anugerahkan dalam hidup ini. Inti dari nats Pengkhotbah pasal 6 adalah karunia menikmati.
Di setiap tahun kita merayakan hari ulang tahun kita. Tanyakanlah pada diri kita sendiri, “Satu tahun sudah terlewati dan diambil dari kehidupanmu, berapa sisa tahun lagi yang engkau punya?, sudahkah engkau bersyukur dan menikmati hidupmu?”
Apakah kita termasuk orang-orang yang memiliki karunia menikmati atau tidak? Sayang sekali bila tidak. Ini tergantung pada sikap hati kita meresponi kehidupan yang ada. Bila hati kita senantiasa bersyukur maka kita dapat menikmati hidup ini dengan penuh sukacita dalam Tuhan. Marilah lihatlah keindahan yang Tuhan berikan dalam kehidupan kita. Amin. Tuhan Yesus memberkati!
Belajar Mencukupkan Diri
Nats Alkitab:
Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. (Filipi 4:11)
Seorang pemuda bernama Faisol dari Sumenep, Madura, Jawa Timur, belajar ilmu hipnotis selama 15 tahun untuk dipakai melakukan kejahatan. Ia memperdayai penjaga toko emas dan mengambil 6 kg emas batangan. Selanjutnya, ia menjual satu batang emas dan kemudian dipakai untuk membeli mobil baru dan memenuhi kebutuhan lainnya. Namun, Faisol tak bisa lama menikmati hasil curiannya. Ia akhirnya ditangkap oleh polisi dan diancam hukuman penjara maksimal selama 7 tahun.
Banyak orang yang ingin belajar hipnotis karena terdorong niat melakukan kejahatan terhadap orang lain. Faisol adalah salah satunya. Ia belajar selama 15 tahun hanya untuk mencuri dan kemudian dihukum.
Bila kita merenungkan kisah Faisol, kita dapat memperoleh suatu pelajaran berharga, betapa ia telah menyia-nyiakan waktu yang begitu lama yakni 15 tahun hanya untuk memenuhi keinginan-keinginannya saja. Padahal, ia dapat belajar banyak hal yang dapat menjadi bekal masa depannya. Asalkan ada kemauan pasti ada jalan. Seringkali masalahnya bukan karena tidak bisa, tetapi karena tidak mau.
Keinginan duniawi dapat menyebabkan seseorang terpicu untuk melakukan kejahatan. Hati yang tidak pernah merasa puas akan terus menuntut untuk dipenuhi. Itu sebabnya, ketika menemui “jalan buntu”, maka “jalan pintas” lah yang diambil, padahal jalan itu menuju kebinasaan.
Ayat firman Tuhan hari ini berisi sesuatu yang sangat berharga bagi kita. Disebutkan di dalam ayat ini: “aku telah belajar mencukupkan diri di dalam segala keadaan.” Rasul Paulus dalam kehidupannya melakukan pelayanan yang penuh komitmen kepada Tuhan, namun bukan tanpa rintangan dan halangan, tetapi penuh pergumulan dan ujian yang harus ia hadapi. Rasul Paulus mengalami saat-saat kekurangan, dan saat-saat penderitaan. Akan tetapi, hal yang luar biasa dari Paulus adalah ia belajar mencukupkan diri di dalam segala keadaan.
Dalam Alkitab terjemahan “New International”, ayat ini berbunyi demikian: “Aku telah belajar untuk merasa puas.” Rahasia kepuasan hati adalah menyadari bahwa dalam keadaan yang sekarang ini, Allah telah memberikan segala sesuatu yang kita perlukan untuk tetap berkemenangan di dalam Kristus (Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, hal. 1984). Kita tidak akan pernah merasa puas selama kita tidak pernah mencapai kesadaran ini. Kita perlu selalu bersandar kepada Yesus Kristus dan menantikan pertolongan-Nya. Kita harus belajar taat dan setia dalam berbagai keadaan, serta belajar untuk selalu mengucap syukur dalam keadaan apapun.
Secara manusiawi, terkadang penderitaan atau kesulitan itu membuat diri kita terasa tidak mampu menghadapi, tetapi disinilah letak dan kunci kemenangan orang percaya, bila mau belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan: Tuhan akan memberikan kemampuan untuk menghadapi semua. Dalam ayat yang ke-13 disebutkan: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia, yang memberi kekuatan kepadaku.”
Saudara akan tetap kuat, saudara akan mampu, saudara akan meraih kemenangan bila saudara belajar untuk mencukupkan diri dalam segala keadaan, karena Tuhan Yesus memberikan kemampuan bagi saudara dan bagi kita semuanya yang mau belajar mencukupkan diri. Haleluya!
Sukacita Dalam Hidup
Sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus hanya akan terwujud dalam kehidupan orang-orang yang memiliki hati yang penuh dengan kepercayaan dan pengucapan syukur.
Tuhan sesungguhnya telah memberikan sukacita kepada kita, sebab kerajaan Allah adalah soal damai sejahtera, kebenaran dan sukacita oleh Roh Kudus, namun nampaknya banyak orang yang sulit sekali bersukacita oleh karena keadaan dan situasi di sekelilingnya membuatnya berputus asa.
Bukan hanya rupiah yang berubah-ubah terhadap dollar, tapi perasaan hati kita pun sering berubah-ubah karena situasi kehidupan. Gaji kecil, penghasilan sedikit, omzet menurun, diberhentikan dari pekerjaan, pertentangan dan penolakan, dan berbagai masalah lain-lainnya, sering mempengaruhi suasana hati kita.
Marilah kita menyadari kembali bahwa sukacita kita datangnya dari sorga, bukan dari dunia ini. Oleh karena itu, sukacita kita tidak tergoyahkan oleh situasi apapun di sekeliling kita. Sukacita kita berbeda dengan kegembiraan duniawi. Maka, jagalah selalu hati kita agar tetap percaya Tuhan dan selalu penuh dengan ucapan syukur, supaya sukacita oleh Roh Kudus itu terus meluap-luap di dalam hati kita.
Tuhan Yesus memberkati!
Pikirkanlah Yang Baik
Yeremia 12:1-6 berisi keluhan nabi Yeremia kepada Allah. Ayat 1-4 merupakan keluhannya atas apa yang nampaknya tidak adil. Nabi Yeremia mempertanyakan mengapa orang fasik hidupnya sentosa, mereka tumbuh dan berakar, subur dan berbuah. Mungkin kondisi nabi Yeremia menjadi pembanding dengan orang-orang fasik, dan ia heran mengapa kondisinya justru kelihatannya kurang beruntung, kurang berkat, dan kurang segala macam. Ditambah lagi berbagai macam penentangan dari rakyat Israel, raja dan para imam kepadanya.
Apa yang ditanyakan dan dikeluhkan oleh nabi Yeremia mungkin pernah muncul juga dalam hati dan pikiran kita, bahkan keluar dari mulut kita pertanyaan akan keadilan Tuhan.
Saudara yang dikasihi Tuhan, Mazmur 37:1-7 berisi teguran supaya kita tidak marah karena keberhasilan orang fasik. “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang”. Alangkah jauh lebih baik apabila kita tetap mempercayai Allah dan setia untuk melakukan yang baik, serta bergembira karena Tuhan. Nah, hal yang satu ini yang nampaknya harus kita bangkitkan kembali dalam hidup kita, yaitu bergembira karena Tuhan, sebab apa? sebab kegembiraan kita seringkali berubah esensinya menjadi kegembiraan yang disebabkan oleh perkara lahiriah. Mari kita kembali kepada hal yang pokok, yaitu Tuhan, sebagai satu-satunya penyebab dan sumber kegembiraan kita.
Ayat 5 dari kitab Yeremia 12 berisi teguran Tuhan kepada nabi Yeremia. Tuhan memakai kata-kata kiasan untuk menegur nabi Yeremia, yang nampak seperti orang berlari padahal orang lain berjalan kaki, dan oleh sebab itu ia menjadi sangat lelah. Pikiran kita seringkali seperti “orang berlari” sehingga kita capek, kehabisan energi, dan putus asa, padahal jika kita mempercayai Allah maka pikiran kita akan tenang dan disegarkan selalu.
Ayat ini juga menegur nabi Yeremia bahwa di negeri yang damai kok hatinya tidak dapat tenteram, padahal ia belum ada dalam kesukaran. Bagaimana ia bisa bertahan dalam kesukaran bila dalam kondisi yang baik saja tidak merasa tenteram dan hanya mengeluh saja.
Saudara yang dikasihi Tuhan, jagalah pikiran kita tetap dipenuhi dengan pikiran sorgawi yaitu perkara-perkara mulia. Situasi apapun jangan membuat pikiran kita “tergopoh-gopoh”, bingung, pusing dan stress. Biarlah kita selalu bersandar kepada firmanNya dan bersyukur dengan semua yang Tuhan karuniakan.
Ayat 6 berisi teguran kepada nabi Yeremia yang intinya adalah bahwa ia harus mengandalkan Tuhan senantiasa. Sebab kaum keluarganya sendiri juga berkhianat kepadanya. Nampaknya Yeremia percaya dan mengandalkan saudara-saudara dan kaum keluarganya. Tapi tanpa sepengetahuan Yeremia, mereka secara diam-diam malah tidak mendukungnya.
Seringkali dalam hidup ini, kita punya andalan-andalan yang kita harapkan dapat menolong dan membantu kita. Tapi, Tuhan mengingatkan bahwa yang harus kita andalkan hanya Tuhan. Ia satu-satunya sumber kekuatan dan pertolongan kita.
Banyak orang punya andalan di militer, kepolisian, kejaksaan, bank dan sebagainya, tapi orang-orang benar hanya mengandalkan Tuhan. Sebab diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan dan menaruh harapnya pada Tuhan.
Tuhan Yesus memberkati saudara semua, amin!