Di India, tikus dianggap sebagai sesuatu yang suci yang dapat memberikan kemakmuran. Perbandingan jumlah penduduk dan tikus adalah 1 berbanding 5. Jadi, untuk setiap satu orang penduduk di India, ada 5 ekor tikus.
Bayangkanlah, ada berapa banyak tikus di India bila penduduknya berjumlah 600 juta?
Para ahli pernah menghitung kerugian yang dialami negara akibat tikus setiap tahunnya sebesar 740 juta US Dollar, senilai dengan kerugian pangan sejumlah 1,25 juta ton.
Kuil Karni Mata merupakan salah satu kuil terkenal di India dengan banyak sekali tikus di dalamnya. Orang-orang datang untuk menyembah dan memberikan persembahan kepada tikus dengan keyakinan bahwa hidup mereka akan diberkati.
Dalam 1 Samuel 12:12 tertulis:
” Janganlah menyimpang untuk mengejar dewa kesia-siaan yang tidak berguna dan tidak dapat menolong karena semuanya itu adalah kesia-siaan belaka.”
Tuhanlah yang harus kita sembah, bukan yang lain. Betapa besarnya kerugian yang akan dialami seorang manusia yang menyucikan dan menyembah sesuatu yang adalah kesia-siaan belaka.
Flat Fish
Ada beberapa spesies ikan di laut dalam yang memiliki siklus perkembangan fisik tidak biasa, khususnya berkaitan dengan mata. Kelompok spesies ikan tersebut termasuk ikan Halibut, Flounders dan Plaices.
Pada tahap awal hidup mereka, ikan-ikan ini berenang seperti ikan-ikan lainnya, tapi kemudian di tahap selanjutnya cara mereka berenang berubah. Ikan-ikan ini berenang dengan posisi tubuh menyamping sehingga dikenal dengan istilah “ikan rata” atau “flat fish”.
Hal yang sangat mengherankan dari perubahan ini adalah mata ikan di posisi sebelah tubuhnya berpindah ke sisi lainnya sehingga pada satu sisi ada dua mata sedangkan sisi lainnya tidak ada.
Sisi tubuh dengan dua mata menjadi bagian atas dan disebut dengan “sisi mata”, sedangkan sisi tubuh tanpa mata menjadi bagian bawah dan disebut “sisi buta” (blind side).
Sampai akhir hidupnya, ikan-ikan ini berenang dengan posisi tubuh rata seperti ikan pari bergerak.
Keunikan ikan spesies ini memberikan suatu inspirasi tentang bagaimana seharusnya kita hidup. Posisi mata kita haruslah dua-duanya memandang ke atas, yaitu kepada perkara-perkara rohani. Tentu yang lebih hakiki adalah mata hati kita, tertuju kepada Yesus Kristus Tuhan.
Mata berbicara tentang pandangan, visi, pautan, pegangan, yang menentukan pola pikir dan tingkah laku kita.
Filipi 3:19 memperingatkan kita tentang kebinasaan orang-orang yang pikirannya tertuju kepada perkara duniawi:
“Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi.”
Seharusnya inilah posisi “blind side” kita, yakni tidak lagi memandang kepada perkara-perkara yang dibawah dan tidak hidup di dalamnya.
Sebaliknya, mata kita harus senantiasa tertuju kepada Tuhan Yesus Kristus.
Ibrani 12:2 tertulis:
“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”
Apakah perkara-perkara duniawi sedang menyeret kita menjauh dari Tuhan saat-saat ini? Apakah salib yang sedang kita pikul saat ini begitu berat sehingga kita ingin menghindarinya? Mungkin mata kita sedang teralihkan dan tidak tertuju kepada Kristus.
Marilah berjalan dengan pandangan yang selalu terfokus kepada Tuhan, agar kita tidak berbelok ke arah yang salah melainkan berjalan maju menuju kemuliaan.
Rusak Tapi Dikaruniai
“Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi.”
(Kej. 6:11-12)
Penggalan ayat Alkitab dari kisah tentang Nabi Nuh di atas menunjukkan kerusakan bumi dalam aspek moralitas manusia.
Manusia menjalankan hidup yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dosa merasuk ke semua aspek kehidupan manusia.
Manusia yang serupa dengan Allah, mengalami kejatuhan moral yang dalam, dan kehilangan kemuliaan Tuhan.
Akan tetapi, di tengah-tengah kehidupan moral yang rusak di bumi, Ada satu orang beserta keluarganya yang hidup saleh, yaitu Nuh. Ia bertahan dalam badai gelap dosa duniawi.
Aspek moralitas merupakan salah satu faktor yang diperhatikan oleh Tuhan. Manusia sering mengabaikan suara hati nurani sehingga moralnya terdegradasi. Mungkin sebagian orang mengatakan bahwa mereka memakai hati nurani, itu baik. Namun, Firman Allah berkata bahwa hati nurani bisa dipengaruhi oleh si jahat yaitu iblis, sehingga hati nurani itu menjadi kotor. Satu-satunya pedoman yang benar dalam persoalan moralitas ialah Firman Tuhan.
Walaupun ada banyak penjelasan ilmiah tentang berbagai hal penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat, namun merefleksikan hal itu dengan Alkitab merupakan suatu “kewajiban” bagi kita. Alkitab itu benar dan mengandung kebenaran.
Kehidupan yang rusak di dunia mungkin dapat saja dijustifikasi dengan berbagai teori yang “humanis” dan mendukung gaya hidup duniawi, tapi justifikasi itu adalah palsu.
Satu hal yang sangat luar biasa dari kisah tentang Nuh adalah bahwa Allah tidak melenyapkan seluruh manusia di muka bumi saat itu. Tuhan menyisakan Nuh dan keluarganya.
Meskipun dunia sudah rusak, tapi Allah menyelamatkan Nuh.
Akan tiba saatnya, Allah akan menyelamatkan umat-Nya yang bersandar dan berharap kepada-Nya serta tidak tercemarkan oleh dunia. Dunia ini memang telah rusak, namun oleh karena kasih karunia Allah, bumi masih ada dan kita pun masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk naik dan masuk ke dalam Bahtera Keselamatan.
Menghakimi Tuhan
Kata Yesus lagi kepada mereka: “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” (Lukas 6:5)
Bacaan Alkitab: Lukas 6:1-11
Yesus menyatakan status diri-Nya sebagai Tuhan dalam ayat ini. Orang-orang Farisi menghakimi Yesus dan para murid atas apa yang mereka lakukan pada hari Sabat.
Orang-orang Farisi adalah golongan yang menegakkan syariat Hukum Taurat. Karenanya, mereka selalu mencari-cari kesalahan orang lain dan menjustifikasi mereka. Mereka tidak akan segan-segan untuk memerintahkan perajaman atau penghukuman tertentu terhadap orang yang kedapatan melakukan kesalahan.
Tuhan Yesus tidak membalas orang Farisi untuk membungkam mereka tapi Ia menunjukkan dan menjawab dengan cara-Nya sendiri. Seandainya kita adalah Tuhan yang punya kuasa, mungkin kita langsung memakai kuasa itu untuk mendatangkan petir atas orang-orang Farisi tersebut. Tapi Tuhan Yesus tidak melakukannya. Tuhan tidak bersifat demikian.
Kepada mereka Tuhan Yesus memberikan jawaban yang sangat jelas maknanya yaitu:
“Aku adalah Tuhan atas hari Sabat.”
Inilah arti ungkapan ayat di atas. Ungkapan ini juga bermakna seperti ini:
“Aku adalah Tuhan.”
Orang-orang Farisi tidak menyadari bahwa mereka sedang menghakimi Tuhan. Saking terbiasanya mereka menghakimi, mereka mengira Tuhan ada di pihak mereka, padahal mereka sedang menghakimi Tuhan yang berseberangan dengan mereka.
Kebiasaan Menghakimi Orang Lain
Orang yang terbiasa menghakimi orang lain, ibaratnya sama dengan orang Farisi. Mari perhatikan bahwa jika seseorang menghakimi orang lain, maka ia merasa bahwa dirinya di posisi yang benar dan orang lain salah. Tuhan Yesus mengatakan agar kita jangan menghakimi. Pesan ini bukan berarti kompromi terhadap dosa, ketidakadilan atau kejahatan. Kita harus menyuarakan kebenaran dan melawan dosa serta kejahatan. Kebiasaan menghakimi itu soal lain lagi.
Contohnya adalah: Menyalahkan kebiasaan atau cara orang menyanyi di gereja. Kenapa orang ini bertepuk tangan kalau lagi menyanyi? Kenapa jemaat itu tidak bertepuk tangan? Saudara yang terkasih, janganlah kita menghakimi hal-hal yang demikian, sebab baik yang bertepuk tangan maupun yang tidak bertepuk tangan, semuanya memuji Tuhan.
Contoh lain:
Misalnya seorang pemimpin pujian sedang memimpin ibadah pujian dan ada yang mengatakan bahwa ibadahnya terasa tidak “naik” atau tidak merasakan hadirat Tuhan, lalu muncul penghakiman, “mungkin pemimpin pujian sudah berbuat sesuatu dosa”, atau mungkin “pemimpin pujiannya kurang doa nih.” Itu sudah merupakan penghakiman yang tidak kita sadari sudah jadi makanan dan kebiasan sehari-hari.
Perhatikan orang Farisi dalam kisah ini. Mereka mengira bahwa Tuhan ada di pihak mereka, padahal Tuhan ada di pihak lain, dan mereka sedang menghakimi Tuhan. Mereka menghakimi para murid, padahal para murid sedang berjalan bersama Tuhan.
Janganlah kita suka menghakimi, sebab jangan-jangan kita sedang “menghakimi Tuhan”. Jangan-jangan kita sedang menghakimi orang-orang yang sedang “berjalan bersama Tuhan.”
Orang yang menghakimi itu pasti punya kesombongan rohani. Ingatlah bahwa Tuhan tidak menyukai kesombongan, tetapi Ia suka dengan orang yang rendah hati.
Ingatlah hal ini, jangan menghakimi tapi koreksilah diri kita sendiri.