Isu yang begitu kuat mengenai migran di Eropa memecah masyarakat Uni Eropa menjadi tiga kelompok. Yang pertama adalah yang menolak migran, kedua adalah mereka yang menerima migran dan yang ketiga merupakan kelompok yang abstain terhadap masuknya migran. Berbagai masalah yang terjadi di Timur Tengah menjadi penyebab memburuknya situasi dan kondisi kehidupan disana sehingga meningkatkan angka migrasi penduduk dari daerah konflik menuju ke negara-negara Eropa.
Menghangatnya isu ini sedikit banyak telah memunculkan suatu keadaan, dimana para pendatang di Eropa, menjadi tidak disukai dan “dipandang sebelah mata” oleh penduduk asli. Hal ini bahkan dirasakan juga oleh orang-orang Asia yang tinggal disana, termasuk saya.
Terkadang ada perasaan tidak enak, saat beberapa orang memandang diri saya, dari cara memandangnya. Tapi, entah apakah itu hanya perasaan yang muncul akibat sedang menghangatnya isu migran tersebut.
Namun, hari ini ada kejadian yang sangat membuat hati saya tersentuh, ketika berada di kereta api menuju tempat tinggal. Saat itu, saya duduk berhadapan dengan seorang bayi yang berada di kereta dorong (Stroller). Seorang bayi dengan matanya yang biru dan rambutnya yang pirang, ditemani oleh ibu dan neneknya. Bayi itu memandang saya dengan pandangan matanya yang begitu polos dan saya pun menatapnya dengan sebuah senyuman.
Bayi itu tersenyum lebar hingga giginya nampak terlihat. Kebetulan? Ternyata bukan kebetulan, karena bayi itu berulang kali memandang saya dan tersenyum. Saat itu, saya merasakan sesuatu dalam hati. Ada suatu kesadaran tentang bagaimana kita memandang orang lain. Dan inilah yang saya renungkan saat dalam perjalanan itu.
Ketika kita masih bayi dan kanak-kanak, pikiran kita masih begitu polos dan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan warna kulit dan segala latar belakang lainnya. Kita akan dengan mudah menerima orang lain apa adanya, tidak peduli suku apa, kaya atau miskin, jelek atau cantik. Kita tidak akan bertanya sedikitpun kecuali hanya menerima keberadaan orang lain.
Tapi ketika kita mulai beranjak dewasa, pikiran kita mulai juga membeda-bedakan orang. Bahkan kita mengkotak-kotakkan orang lain, mana yang kita suka dan tidak suka, berdasarkan suku, agama, ras, bahasa atau status sosialnya. Kita menjadi pribadi yang berbeda dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Kita menjadi cenderung memandang rendah, memandang lebih tinggi, atau memandang sama tingkat terhadap orang lain.
Saya kembali merefleksikan hal ini terhadap diri saya, dan belajar untuk menjadi seperti seorang anak kecil, yang memiliki hati yang tulus dan mau menerima orang lain apa adanya. Seperti Tuhan yang telah menerima kita apa adanya, demikianlah kita juga harusnya menerima orang lain apa adanya mereka, karena kita semua adalah ciptaan Tuhan.
Bacaan Alkitab:
“Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” ( Yakobus 2:1)
One Reply to “Isu Migran dan Perspektif Kita”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Amin. Banyak orang yang begitu pelit membagi senyum. Bahkan orang Kristen banyak yang demikian.