Seorang anak muda masuk ke Baptist College di Springfield, Missouri. Sebagaimana rata-rata anak seumurannya, dia belum begitu stabil dalam hal emosi dan begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pada tahun pertama kuliahnya disitu, ia mengalami sesuatu yang mengubah kehidupannya. Suatu kali, ia datang ke Gereja Baptis di High Street dan menanyakan apakah ia boleh mengajar Sekolah Minggu. Lalu kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajar di sekolah minggu dengan jumlah anak hanya satu orang yang berumur sebelas tahun, dan juga diberikan sebuah buku ajar sekolah minggu untuk kelas umur sebelas tahun.
Selama kurang lebih empat minggu ia mengajar anak tersebut dan kemudian anak itu membawa satu orang temannya. Sekarang sudah ada dua orang anak. Tapi melihat jumlah anak yang diajarnya hanya dua orang, ia mulai tawar hati dan merasa putus asa. Lalu ia mendatangi pemimpin gereja dan mengatakan bahwa ia menyerah dan tidak akan melanjutkan lagi pelayanan sekolah minggu disitu.
Bapak pemimpin gereja itu berkata, “sejak awal sebenarnya saya tidak mau memberikan ijin untukmu mengajar sekolah minggu di tempat ini, karena menurut penilaian pertama saya tentang engkau, kelihatannya kamu tidak serius dan tidak bisa berkomitmen. Saya tidak yakin kamu akan berhasil dalam pelayanan ini, tapi meskipun saya merasakan hal tersebut, saya tetap memberikan kamu kesempatan untuk mengajar disini. Namun, sekarang terbukti benar bahwa kamu memang tidak layak untuk berada disini, jadi silahkan kembalikan buku pengajaran sekolah minggu itu.”
Saat mendengar perkataan pemimpin gereja, anak muda ini menjadi tersinggung dan marah dan berkata ia tidak akan mengembalikan buku ajar itu dan meminta agar diberi waktu untuk ia dapat berdoa dan minta tuntunan dari Tuhan mengenai perkara ini.
Anak muda ini kembali ke asrama kampus dan mulai berdoa. Ia meminta izin kepada dekan jurusannya agar ia dapat memakai ruang kosong di lantai 3. Dan setiap hari mulai jam 12.30 hingga jam 5 sore, ia berdoa disitu. Tuhan membuatnya hancur hati dan menyadari kegagalannya dalam hal kesetiaan melayani sebuah kelas sekolah minggu yang kecil, yang hanya terdiri dari dua orang anak. Saat-saat berdoa itu, ia disadarkan bahwa apabila ia tidak setia terhadap perkara-perkara kecil, maka Tuhan tidak akan memberkati dengan perkara-perkara yang besar. Anak muda ini pun berdoa untuk anak sekolah minggu yang dilayaninya, dan juga berdoa untuk keluarga dari anak itu, lalu ia berdoa pula untuk anak yang baru masuk ke sekolah minggu beserta keluarganya. Selanjutnya ia berdoa untuk dirinya sendiri dan kebutuhannya, serta memohon Tuhan menuntunnya ke jalan yang benar.
Ia mulai lagi semangat untuk melayani sekolah minggu dan berkomitmen untuk setia meskipun jumlah anak yang dia layani hanya dua orang. Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan, tidak terasa waktu berjalan dan tidak terduga olehnya, Tuhan menambahkan jumlah anak-anak yang ikut sekolah minggu di kelasnya.
Setiap hari Sabtu, anak muda ini pergi ke taman-taman bermain dan ke lapangan-lapangan kosong, mencari anak-anak seumuran sebelas tahun untuk diajaknya ikut ke sekolah minggu. Pada tahun itu juga, kelas sekolah minggu yang dilayaninya telah berisi 55 orang anak usia sebelas tahun,dan semuanya itu ia sadari karena pertolongan Tuhan semata.
Melalui pelayanan sekolah minggu ini, banyak anak-anak yang diselamatkan dan juga orangtua mereka serta teman-teman mereka, semua disebabkan oleh kesetiaan dan komitmen yang tinggi dari seorang anak muda yang mau melayani Tuhan.
(Diterjemahkan dari Signs of Times, “You are worthless”)