Puluhan tahun lalu, seorang wanita miskin dari Irlandia menemui seorang pendeta di Boston Amerika Serikat. Ia ingin memberikan sumbangan dan meminta agar pendeta itu dapat meneruskan sumbangannya untuk orang-orang yang menderita kelaparan di Irlandia.
“Berapa banyakkah yang anda akan sumbangkan?”, tanya pendeta. “Saya mempunyai simpanan seratus dollar dan saya hendak sumbangkan semuanya.”
Pendeta tersebut mengatakan bahwa sumbangannya terlalu banyak jika dibandingkan dengan penghasilannya mengingat kondisinya yang miskin, tapi wanita itu bersikeras untuk memberikan sumbangan tersebut.
Ia akan merasa lega bila mengetahui sumbangannya tiba pada tujuannya, dan akan merasa senang mengetahui bahwa ada orang-orang miskin yang tertolong oleh karena sumbangannya.
Pendeta itu menerima uang itu dengan mata yang berkaca-kaca oleh air mata. “Siapakah nama anda?”, tanya sang pendeta, “supaya saya dapat memasukkan nama anda dalam surat kabar.”
“Nama saya….,” kata wanita itu sambil menghitung uangnya, “tidak perlu dirisaukan tuan siapa nama saya. Kirimkan sajalah bantuan ini, Allah sajalah yang mengetahui nama saya itu.”
(B. Malingkas)