Hati Yang Rela Berkorban

Mazmur 54:6 berkata: “Dengan rela hati aku akan mempersembahkan korban kepada-Mu, bersyukur sebab nama-Mu baik, ya Tuhan.”  
Persembahan kepada Tuhan merupakan tindakan yang sudah dilakukan sejak Adam dan Hawa.  Bahkan di berbagai belahan dunia, banyak suku masyarakat yang melakukan ritual persembahan kepada yang mereka agungkan sebagai tuhan.

Ketika saya berada di Bali, saya melihat dimana-mana selalu ada sesajen, tepatnya di depan rumah atau toko masyarakat disana.  Itu merupakan salah satu bentuk persembahan mereka kepada yang mereka sembah. Penduduk gunung bromo pun melakukan ritual tahunan persembahan dengan cara melempar berbagai hasil bumi dan ternak ke dalam kawah gunung bromo.

Salah satu tanda seseorang mengasihi Tuhan adalah memiliki kerelaan hati untuk berkorban.  Ciri utamanya terletak di dalam hati yang rela, bukan saja kepada wujud persembahan yang diberikan. Banyak orang yang bisa memberi, bahkan memberikan persembahan dengan nilai besar, tetapi hatinya tidak rela, melainkan didasari motivasi-motivasi yang lain.

Tuhan Yesus menegur orang-orang kaya yang memberikan persembahan namun tidak dengan hati yang rela karena memberi dari kelebihannya, sedangkan si janda miskin, memberikan semua yang dimilikinya karena hatinya tulus rela berkorban bagi Tuhan.

Abraham adalah bapa orang beriman, yang memiliki ketaatan kepada perintah Allah. Ketika ia disuruh mempersembahkan Ishak, anaknya, sebagai korban, maka ia tidak menolak dan tidak berbantah dengan Tuhan, tetapi menuruti saja apa yang menjadi kehendak Tuhan.  

Dalam Ibrani 11:17 dituliskan bahwa Abraham rela mempersembahkan, perhatikan disini ada kata “rela”, berarti ia melakukannya dengan ikhlas, senang hati, serta tidak mengharapkan imbalan apapun.  Meskipun pada akhirnya, Allah mencegahnya dan menyediakan domba korban sebagai ganti Ishak anaknya itu, namun ketaatan dan kerelaan Abraham sangat diperhitungkan Tuhan.

Sejak mula, Tuhan memberikan suatu kerinduan dalam hati manusia utnuk mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan.  Dalam Perjanjian Lama kita membaca kebiasaan umat Tuhan untuk memberi persembahan di atas mezbah pembakaran. Jadi, persembahan di atas mezbah itu identik dengan pembakaran. Dibakar artinya ludes dilalap api, berartti persembahan itu tidak lagi dapat dilihat karena sudah habis.  Artinya, persembahan itu sudah tidak dapat lagi dicap kepemilikannya karena hak kepemilikannya sudah diberikan kepada Tuhan.  Bila kita memberikan sesuatu kepada Tuhan, jangan lagi diingat-ingat. Yang sudah diberikan sebagai persembahan sudah bukan milik kita lagi.  Jadi bukan hak kita lagi, jangan dituntut tapi biarlah hati kita sukarela memberikannya.

     Ada satu hal menarik mengenai korban.  Ternyata, korban itu bukan hanya materi semata. Pemazmur berkata: “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur, hati yang patah dan remuk tidak akan Kau pandang hina, ya Allah.”

     Jiwa yang hancur berbicara jiwa yang bertobat dan selalu berserah.  Ini juga berbicara tentang kehidupan yang benar tetapi mengalami fitnah, aniaya dan penindasan.  Tuhan Yesus berkata berbahagialah bila engkau dianiaya oleh sebab kebenaran.  Dianiaya atau difitnah, diperlakukan tidak adil meskipun kita berlaku benar, itu menyakitkan hati, membuat hati hancur dan patah remuk.  Tapi sungguh luar biasa, bila kita dengan rela menjalaninya, itu merupakan suatu korban yang harum di hadirat Allah.

Leave a Reply